Refleksi Hari Disabilitas Internasional dan Tiga Tahun UU Penyandang Disabilitas
Oleh: Sultan F. Basyah
Pada hari selasa kemarin, 3 Desember, setiap tahunnya diperingati oleh dunia sebagai Hari Disabilitas Internasional. Tanggal ini ditetapkan sejak tahun 1992 oleh Majelis Umum PBB untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dunia terhadap kaum difabel. Terutama mengenai hak-hak dan kesejahteraan mereka yang patut diperjuangkan agar kaum difabel bisa mendapatkan keadilan di segala bidang kehidupan.
Setiap tahunnya Hari Disabilitas Internasional ini selalu memiliki tema yang berbeda untuk disuarakan dan dipromosikan. Tahun ini PBB membawa tema “Promoting the participation of persons with disabilities and their leadership: taking action on the 2030 Development Agenda”. Tema ini berfokus pada pemberdayaan kaum difabel untuk pembangunan yang inclusive, equitable, dan sustainable.[1]
Membaca tema yang diusung PBB, terlihat bahwa isu yang diusung sudah sampai pada tahap partisipasi aktif kaum difabel di segala sektor pembangunan terutama berkaitan dengan leadership skill mereka. Hal ini tentunya terkait bagaimana tiap difabel di segala jenis pekerjaan mereka mampu tidak hanya membuktikan bahwa mereka dapat bekerja layaknya orang normal, melainkan juga dapat menyaingi orang normal dan bahkan memimpin agenda pembangunan sehingga bukan lagi terkait akses pekerjaan melainkan bagaimana partisipasi aktif mereka dalam pekerjaan yang sudah tersedia untuk mereka tersebut.
Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Penulis sendiri melihat bahwa isu yang terjadi di Indonesia masih terkait dengan kemudahan akses pekerjaan bagi kaum difabel. Sejak tahun 2016 dengan dikeluarkannya UU no. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas memang kaum difabel sudah dilindungi oleh payung hukum yang konkret dalam penjaminan terhadap hak-hak mereka. Akan tetapi dalam pengimplementasiannya tidak serta merta kaum difabel dapat dengan mudah mendapatkan akses terhadap pekerjaan yang diimpikannya.
Hal ini terbukti dengan masih minimnya penyerapan tenaga kerja dari kaum difabel yakni baru 1,2 persen atau 2760 dari 230 ribu tenaga kerja di 440 perusahaan menurut data Kementerian Tenaga Kerja 2018[2]. Padahal dalam Pasal 53 UU no. 8 tahun 2016 disebutkan bahwa setiap perusahaan wajib mengakomodasi penyandang disabilitas minimal 1 persen dari total tenaga kerja di sektor swasta dan 2 persen pada sektor pemerintahan.
Selain itu, diskriminasi terhadap kaum difabel pun masih terjadi di lapangan. Seperti misalnya kasus yang belum lama ini terjadi yakni kasus drg. Romi yang dibatalkan kelulusannya karena dianggap tidak memenuhi syarat “sehat jasmani dan rohani”[3]. Padahal di Pasal 1 angka 1 UU no. 8 tahun 2016 dikatakan bahwa “Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.” Artinya mereka bukan orang yang terganggu kesehatan jasmani maupun rohaninya. Mereka hanya butuh aksesibilitas yang sesuai sehingga dapat bekerja dan berpartisipasi secara aktif.
Lalu, bagaimana hal ini bisa terjadi? Penulis berpendapat bahwa situasi ini terjadi karena tiga faktor utama yakni rendahnya kepercayaan diri dari banyak difabel, rendahnya kualitas difabel secara umum, serta persepsi perusahaan dan masyarakat yang menganggap difabel sebagai orang yang lemah.
Menurut penulis, baik faktor pertama, kedua, maupun ketiga, solusi utamanya ada pada negara. Negara telah diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945 untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka dari itu, negara pula lah yang harus menjadi aktor aktif dalam menyelesaikan hambatan-hambatan dalam pemenuhan hak-hak bagi kaum difabel.
Pertama, negara harus mengganti penggunaan istilah dari penyandang disabilitas menjadi difabel. Perubahan bahasa dan istilah bagi penulis akan memberikan dampak yang signifikan dalam mengubah dan membangun persepsi yang lebih baik terhadap para penyandang disabilitas. Mengapa kata ‘difabel’ lebih baik? Karena difabel berasal dari different ability yang artinya memiliki kemampuan yang berbeda. Sayangnya di KBBI saja untuk difabel masih diartikan sebagai penyandang cacat. Sedangkan disabilitas artinya ketidakmampuan.
Hal ini bisa terlihat pada bagaimana teman-teman tuli lebih suka dibilang tuli dibanding tunarungu. Tuli merepresentasikan bagaimana kondisi mereka sehingga mereka memiliki cara berkomunikasi yang berbeda yakni dengan bahasa isyarat. Sedangkan tunarungu artinya tidak dapat mendengar. Sesuatu yang terkesan merupakan negasi dari kemampuan mendengar sehingga bila tidak dapat mendengar dianggap tidak normal. Perubahan istilah ini akan membuat kaum difabel lebih percaya diri dan secara psikologis membuat mereka merasa bahwa sejatinya mereka sama dengan orang normal lainnya hanya saja mereka memiliki kemampuan yang berbeda.
Kedua, negara harus lebih memajukan lagi pendidikan bagi kaum difabel. Hal ini amat penting karena kaum difabel membutuhkan jenis pendidikan yang berbeda dan dengan fasilitas yang berbeda pula. Pendidikan yang memadai akan membuat kualitas kaum difabel meningkat dan tentunya juga akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja dari kaum difabel. Pendidikan ini tentu saja tidak hanya berkaitan dengan sekolah formal biasa tapi juga termasuk pelatihan-pelatihan kerja yang khusus diberikan kepada kaum difabel dengan jenis yang berbeda. Selama ini orientasi pemerintah melalui Kementerian Sosial masih diarahkan pada pemberian dana bantuan hokum dan bukan pada peningkatan produktivitas[4].
Ketiga, negara harus aktif menyosialisasikan kepada segenap masyarakat bahwa difabel bukanlah orang lemah. Bukan pula orang yang tidak sehat. Difabel adalah orang yang memiliki kemampuan berbeda. Yang bila diberi kesempatan sesuai dengan kemampuan mereka tentunya akan mampu bersinar layaknya masyarakat pada umumnya. Pengawasan yang lebih ketat terhadap perusahaan-perusahaan juga penting untuk dilakukan agar implementasi dari UU Penyandang Disabilitas dapat maksimal.
Bila ketiga hal ini sudah dilakukan, maka partisipasi aktif kaum difabel dalam pembangunan yang inclusive, equitable, dan sustainable seperti yang dicita-citakan PBB sebagai tema di Hari Disabilitas Internasional tahun ini tentu akan terwujud. Perlahan akan terlihat ke depannya bahwa yang dikatakan sebagai “disabilitas” nyatanya sama sekali tidak mengurangi kemampuan dalam bekerja. Dengan pendidikan yang penuh, aksesibilitas yang sesuai, pelatihan kerja yang maksimal, dan fasilitas yang memadai tentu kaum difabel bersama seluruh masyarakat akan membangun dunia ini tanpa ada lagi diskriminasi di dalamnya.
Selamat Hari Disabilitas Internasional untuk kawan-kawan difabel di seluruh Indonesia. Semoga masa depan yang cerah dapat diakses bersama oleh kita semua tanpa ada lagi hambatan yang menghalangi.
[1] https://www.un.org/development/desa/disabilities/international-day-of-persons-with-disabilities-3-december/2019-2.html
[2] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20181030140004-92-342624/serapan-pekerja-difabel-oleh-perusahaan-masih-minim
[3] https://regional.kompas.com/read/2019/07/24/07100031/duduk-perkara-dokter-gigi-romi-gagal-jadi-pns-karena-penyandang-disabilitas?page=all
[4] https://www.theindonesianinstitute.com/diskriminasi-hak-kesempatan-kerja-penyandang-disabilitas/