eNVIROMerayakan Sebuah Pengekangan : Tentang Bumi Di Saat Pandemi

Serikat Mahasiswa Progresif UI
7 min readApr 29, 2020

--

Oleh : Aufa Prasetya* dan Rizky Azhari Abietto**

Ilustrasi oleh Aufa Prasetya

Tidak bisa dibantahkan jika dampak krisis iklim sudah dirasakan oleh seluruh masyarakat di dunia. Krisis iklim disebabkan oleh perubahan iklim baik secara alamiah atau faktor alam dan dapat pula disebabkan oleh aktivitas melalui pemanasan global. Pemanasan global sendiri merupakan naiknya suhu bumi dalam jangka waktu yang lama, disebabkan gas rumah kaca yang terjebak di stratosfer sehingga memerangkap panas yang berdampak terhadap suhu pada permukaan bumi. Aktivitas manusia untuk keperluan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan yang menyebabkan bertambahnya GRK di udara sehingga fungsi utama GRK yang tadinya menghangatkan permukaan bumi, sifatnya malah menjadi destruktif.[1] Salah satu dampak langsung yang dapat kita rasakan adalah perubahan kualitas udara.

Sejalan dengan pertumbuhan kota dan industri, menyebakan turunnya kualitas udara akibat perubahan tersebut. Dari awalnya bersih dan segar, menjadi kering dan kotor akibat dari pencemaran udara yang disebabkan oleh asap pabrik serta transportasi yang menghasilkan emisi. Gas buang atau emisi didefinisikan sebagai hasil pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara, gas alam dan minyak yang didispersikan ke udara, tergantung pada komposisi bahan bakar serta jenis dan ukuran boiler.[2] Di Indonesia sendiri, per September 2019 menjadi kota dengan kualitas udara terburuk dibandingkan kota-kota utama lainnya di dunia. Berdasarkan data dari AirVisual.com pada pukul 08.14. Indeks kualitas udara (AQI) di Jakarta saat ini mencapai angka 174 atau berada pada level tidak sehat.[3]

Turunnya Kadar Polusi Udara di Dunia

Bukan hanya perihal penyakit, faktanya Covid-19 telah membuat kualitas udara dan lingkungan global membaik. Akibat pandemi Covid-19, telah mendorong roda ekonomi global hampir berhenti sehingga keadaan ekonomi dibelahan dunia melemah. Lebih lanjut, tutupnya pabrik-pabrik dan kendaraan yang tak terpakai membuat kadar polusi udara di dunia, terutama pada kota-kota besar menurun. Beijing, Ibu Kota China yang sangat dikenal dengan tingkat polusinya yang sangat tinggi sampai mencekik paru-paru, belakangan memiliki langit biru yang cerah akibat tutupnya pabrik-pabrik yang menghentikan produksinya.[4]

Selain itu, di New York, Amerika menunjukan bahwa tingkat lalu lintas pada kota tersebut diperkirakan turun 35% dibanding tahun lalu. Emisi karbon monoksida, terutama yang dikeluarkan oleh truk dan kendaraan besar, menurun 50% selama beberapa minggu.[5] Data tersebut diperkuat oleh Citra satelit NASA melaporkan adanya penurunan jumlah polusi udara di sejumlah negara. Di China misalnya, dari data yang dikumpulkan oleh satelit Sentinel-5 ESA menunjukkan penurunan nitrogen dioksida yang signifikan. Gas yang sebagian besar dihasilkan mobil, truk, pembangkit listrik, dan sejumlah pabrik itu lenyap saat dilihat pada 20–25 Februari 2020.[6] Akan tetapi, beberapa ilmuwan berpendapat bahwa pandemi global ini takkan mampu mengembalikan manfaat lingkungan, terutama perihal penekanan perubahan iklim.

Dampak Pandemi Terhadap Lingkungan

Selain kadar polusi udara yang turun, pandemi ini juga secara langsung berdampak terhadap kondisi di Bumi. Menurut Mohammad Darvish, seorang anggota dari Dewan Keamanan Nasional untuk lingkungan, hari ini bumi merayakan kondisi terbaiknya dalam setengah abad.[7] Sejak awal 2020, untuk pertama kalinya berturut-turut, emisi gas rumah kaca serta konsumsi bahan bakar fosil telah menurun. Yang menarik adalah bagaimana kehidupan satwa liat meningkat akibat pandemi ini.

Lebih lanjut, terlihatnya lumba-lumba di Venice, Italia serta banyaknya satwa liar yang masuk kepemukiman penduduk bukti bahwa wabah ini cukup berdampak kepada kehidupan satwa liar. Akan tetapi, dampak buruk yang dapat terjadi ialah menarik perhatian kepada para pedagang satwa liar. Kadar polusi udara yang turun serta kemunculan satwa liar diruang publik membuat krisis iklim terabaikan sementara. Namun faktanya, sampah plastik terus meningkat dikala pandemi. Selain dari konsumsi masyarakat, penggunaan plastik sekali pakai dari peralatan medis, seperti sarung tangan hingga kemasan plastik lainnya menambah jumlah limbah plastik saat ini.[8] Tak dapat dipungkiri, kekhawatiran mengenai kondisi bumi akan kembali seperti sebelumnya. Dan bahkan, kegiatan produksi dapat meningkat berkali-kali lipat untuk mengejar ketertinggalan saat pandemi. Founder Sustaination, Tyas menyebut situasi yang terjadi saat ini mungkin bisa dijadikan pelajaran. Bahwasanya, jika kita mampu menjaga Bumi dan tidak serakah, maka alam pun akan memberikan hasil yang baik, seperti udara segar misalnya.[9]

Keadaan Indonesia Sekarang

Sama dengan negara lain di dunia yang mengalami penurunan polusi di Negaranya. Indonesia juga demikian, Di Jakarta sendiri, berdasarkan laporan dari UNEP (United Nations Environment Programme) menyatakan bahwa udara di Jakarta saat ini merupakan kualitas udara terbaik selama 28 tahun. (KPBB). PSBB (pembatasan social berskala besar) di nilai merupakan factor yang mengakibatkan udara di Jakarta membaik, pada 10 hari pertama PSBB di laksanakan, Kualitas Udara di Jakarta masih berada pada kategori Tidak Sehat dengan nilai PM2,5 rata-rata 44,55 µg/m3. Namun, setelah memasuki 10 hari kedua pelaksaan PSBB di Ibukota, Kualitas udara di Jakarta membaik secara drastis menjadi kategori baik dengan PM2,5 rata-rata sebesar 18,46 µg/m3. Hal ini menunjukkan respon positif dari lingkungan terhadap kebijakan dari pemerintah terhadap penangganan pandemi covid-19 ini.[10]

Mengikuti peningkatan kulitas udara di Jakarta, penerapan PSBB di kota lain di Indonesia pun mulai memberikan dampak positif kepada kualitas udara di kota tersebut. Seperti di Bandung, berdasarkan pemantauan DLHK Kota Bandung, kualitas udara di Bandung menunjukkan kualitas udara paling tinggi di level sedang dengan nilai ISPU 51–100.[11] Begitu pula dengan kota Surabaya yang telah memasuki kualitas udara dengan kategori baik berdasarkan pemantauan dari DLH Kota Surabaya.[12] Tidak hanya terjadi di kota- kota besar, pengaruh dari PSBB di pulau dan kota lain di Indonesia menyebabkan dampak positif kepada lingkungan dan penduduk Indonesia.

Tidak dapat dipungkiri, meningkatnya kualitas udara di Indonesia terjadi karena diberlakukannya PSBB secara Nasional. Memang dengan meningkatnya kualitas udara berpengaruh baik kepada penduduk. Namun, bagaimana bisa tingkat udara yang membaik di luar tidak dapat di nikmati oleh penduduk karena kebanyakan aktivitas di lakukan di rumah. Sudah seharusnya peningkatan kualitas udara di Indonesia terus di pertahankan sampai pasca pandemi covid-19 dan seterusnya.

Hal yang Dapat Dilakukan Terkait Turunnya Emisi

Polusi di Indonesia memrupakan masalah yang sudah lama terjadi dan terus diwarisi dari generasi ke generasi. Tahun ini, tingkat polusi mengalami penurunan terbesar dalam dua decade ini karena PSBB yang di lakukan berhungan dengan penanggulangan pandemi covid-19. Namun, tentu kita ingin agar kualitas udara baik terus bertahan sampai setelah pandemi selesai sehingga kita dapat beraktivitas dengan normal dengan udara bersih. Polusi di Indonesia mayoritas berasal dari pembuangan produksi energi. Hingga saat ini, Indonesia masih bergantung sebesar 61% dari kebutuhan energi nasional dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dengan total 28 PLTU batubara yang tersebar di Indonesia. Padahal, PLTU batu bara termasuk salah satu polutan terbesar, sebesar 11% dari emisi nasional.[13] Indonesia pada Paris Agreement di tahun 2015 diharapkan untuk memenuuhi target menurunkan emisi sebesar 29% dari BAU (Business as Usual) sesuai dengan First Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.[14]

Mengingat starting point dari implementasi NDC pada tahun 2020. Maka pemerintah membuat komitmen untuk sector energi salah satunya 23% energi baru terbarukan (EBT) dari Bauran Energi Primer. Namun, bila melihat data dari awal decade ini, target ambisius tersebut sepertinya akan sulit mengingat beberapa kebijkan negara yang bertolak belakang dengan target tersebut.

Sudah seharusnya Pemerintah berfokus untuk menambah daya dari Energi Baru Terbarukan. Untuk mengejar target EBT dan NDC, banyak PR yang harus di selesaikan oleh pemerintah. Bila target untuk NDC dapat terpenuhi, maka tidak hanya kenaikan suhu yang memengaruhi perubahan iklim yang dapat di hambat. Namun, masyarakat Indonesia pun mendapat hak mereka berupa menghirup udara bersih bebas polusi. Bukan udara besih yang ada karena semua masyarakat di rumah. Oleh karena itu, kita harus mengawal kebijakan di sektor energi untuk kebaikan tidak hanya diri sendiri, akan tetapi juga lingkungan. Selamat Hari Bumi, 22 April 2020.

“Bumi Ku Sayang, Bumi Ku Malang”

*Penulis 1 merupakan Anggota SEMAR UI

**Penulis 2 merupakan Mahasiswa FMIPA UI

[1] Departemen Sosial Masyarakat BEM FISIP UI & Departemen Pengabdian Masyarakat BEM FH UI; “Krisis Iklim dalam Sudut Pandang Ekonomi dan Pembangunan,”

[2] M Reza Sulaiman; “Catat, Pengertian Emisi Dan Pengaruhnya Dalam Pencemaran Udara,” https://www.suara.com/health/2019/08/03/214756/catat-pengertian-emisi-dan-pengaruhnya-dalam-pencemaran-udara, diakses pada 21 April 2020.

[3] Happy Fajrian; “Kualitas Udara Jakarta Terburuk di Dunia, Masih Kalah dari Pekanbaru,” https://katadata.co.id/berita/2019/09/23/kualitas-udara-jakarta-terburuk-di-dunia-masih-kalah-dari-pekanbaru, diakses pada 21 April 2020.

[4] Tommy Kurnia; “Polusi Udara Sejumlah Negara Turun Saat Pandemi Corona, Bagaimana Indonesia?,” https://www.liputan6.com/global/read/4217476/headline-polusi-udara-sejumlah-negara-turun-saat-pandemi-corona-bagaimana-indonesia, diakses pada 21 April 2020.

[5] Hariz Barak; “Kadar Polusi Udara Dunia Menurun Selama Pandemi Corona Covid-19,” https://www.liputan6.com/global/read/4214052/kadar-polusi-udara-dunia-menurun-selama-pandemi-corona-covid-19, diakses pada 21 April 2020.

[6] Era.id; “Bisa Jadi Covid-19 adalah Cara Semesta Beri Waktu Bumi Bernafas,” https://www.era.id/read/p4Ukxx-bisa-jadi-covid-19-adalah-cara-semesta-beri-waktu-bumi-bernapas, diakses pada 21 April 2020.

[7] Miranti Kencana Wirawan; “Bumi Rayakan Kondisi Terbaiknya di Tengah Wabah Virus Corona,” https://www.kompas.com/global/read/2020/04/22/064100670/bumi-rayakan-kondisi-terbaiknya-di-tengah-wabah-virus-corona?page=all, diakses pada 22 April 2020.

[8] Dw.com; “7 Dampak Virus Corona Terhadap Lingkungan,” https://www.dw.com/id/7-dampak-virus-corona-terhadap-lingkungan/g-53184443, diakses pada 22 April 2020.

[9] Gita Laras Widyaningrum; “Kondisi Bumi Membaik Selama Pandemi COVID-19, Bolehkah Kita Tenang?” https://nationalgeographic.grid.id/read/132095952/kondisi-bumi-membaik-selama-pandemi-covid-19-bolehkah-kita-tenang, diakses pada 22 April 2020.

[10] Fajar Jay; “Setelah 28 Tahun, Kualitas Udara di Jakarta Membaik,” https://www.mongabay.co.id/2020/04/06/setelah-28-tahun-kualitas-udara-di-jakarta-membaik/, diakses pada 22 April 2020.

[11] Iqbal Donny; “Lengang Karena Pembatasan Sosial, Udara Bandung Membaik,” https://www.mongabay.co.id/2020/04/09/lengang-karena-pembatasan-sosial-udara-bandung-membaik/, diakses pada 22 April 2020.

[12] Wijayanto; “Jalanan Sepi, Kualitas Udara di Surabaya Membaik,” https://radarsurabaya.jawapos.com/read/2020/04/04/187108/jalanan-sepi-kualitas-udara-di-surabaya-membaik, diakses pada 22 April 2020.

[13] IESR; “Dinamika Batu Bara Indonesia: Menuju Transisi,”

http://iesr.or.id/wp-content/uploads/2019/04/SPM-bahasa-lowres.pdf diakses pada 22 April 2020.

[14] Humas EBTKE; Kementrian ESDM; http://ebtke.esdm.go.id/post/2019/10/08/2358/upaya.pencapaian.target.penurunan.emisi.grk.dari.sektor.energi diakses pada 22 April 2020.

--

--

Serikat Mahasiswa Progresif UI
Serikat Mahasiswa Progresif UI

Written by Serikat Mahasiswa Progresif UI

Memulai langkah pembebasan kaum tertindas dengan membangun gagasan dan gerakan progresif!

No responses yet