Bagaimana Negara Demokrasi bergerak Menuju Fasisme

oleh: Kinanthi Redha

Serikat Mahasiswa Progresif UI
6 min readOct 21, 2024
Ibu Kota Nusantara — Kalimantan Timur.

Pendahuluan

Proses transisi dari negara demokrasi menuju fasisme merupakan fenomena yang kompleks dan sering kali sulit diprediksi. Dalam banyak kasus, seperti di India dan Hongkong (Allbert, 2021), perubahan ini dipicu oleh tindakan para pemimpin yang melanggar hak asasi manusia (HAM) dan membentuk koalisi partai politik yang homogen, memonopoli kekuasaan serta mempersempit ruang bagi oposisi (Levitsky & Ziblatt, 2018). Menurut Allbert pada artikel yang ia tulis, HAM menjadi tolak ukur dalam sebuah kemajuan negara terkait bagaimana negara memperlakukan dan melindungi Hak dari setiap warga negaranya. Kondisi semacam ini menciptakan iklim politik represif, kebebasan berpendapat dibatasi dan kontrol terhadap masyarakat semakin diperketat melalui mekanisme pengawasan yang intensif (Mounk, 2022). Di Indonesia, dinamika ini dapat dilihat dalam konteks sejarah politik pasca-reformasi 1998 (Sri Handayani, 2022). Meskipun terdapat kemajuan dalam sistem demokrasi, tantangan besar tetap ada dalam menjaga integritas institusi demokratis serta perlindungan HAM (Modami et al., 2023).

Menurut Arendt (1973) dalam buku berjudul The Origins of Totalitarianism, salah satu ciri khas dari pergeseran ke arah fasisme adalah pelanggaran sistematis terhadap hak-hak individu. Pemimpin yang berkuasa cenderung menggunakan kekuasaan mereka untuk mengekang kebebasan berbicara dan berkumpul. Taktik-taktik seperti intimidasi terhadap aktivis atau penghapusan kritik melalui media massa sering kali digunakan untuk menciptakan suasana ketakutan di kalangan rakyat. Dalam konteks Indonesia, meskipun terdapat undang-undang yang menjamin kebebasan berpendapat, praktik-praktik pelanggaran hak asasi manusia masih terus berlangsung tanpa sanksi yang memadai bagi pelanggarnya (Irfan et al., 2023).

Tindakan melanggar HAM oleh seorang presiden dapat memicu reaksi kolektif dari partai-partai politik lain dalam membentuk koalisi. Ketika partai-partai politik bersatu demi kepentingan pragmatis semacam itu, mereka berpotensi mengubah struktur pemerintahan menjadi lebih otoriter dan menyimpangkan fungsi legislatif sebagai pengawas pemerintah (Cecep et al., 2022). Koalisi partai politik yang mendukung kekuasaan eksekutif juga berperan penting dalam transisi menuju fasisme. Aliansi semacam ini sering kali terbentuk untuk memperkuat kekuasaan presiden atau pemimpin negara dengan mengabaikan prinsip-prinsip dasar demokrasi seperti checks and balances (Cecep et al., 2022). Ketika partai-partai politik lebih mementingkan kepentingan pragmatis daripada mempertahankan nilai-nilai demokrasi, struktur pemerintahan dapat berubah menjadi lebih otoriter, merusak fungsi legislatif sebagai pengawas yang efektif. Dengan demikian, partai-partai oposisi kehilangan ruang untuk beroperasi secara mandiri dan berpotensi dipaksa untuk berkompromi demi kelangsungan eksistensi mereka.

Meskipun demokrasi secara ideal memberikan kekuasaan kepada rakyat untuk memilih pemimpin dan menentukan arah kebijakan negara, beberapa negara demokratis telah mengalami proses degenerasi menuju fasisme. Proses ini, seperti yang diamati dalam berbagai studi, sering kali dimulai dengan pelanggaran hak asasi manusia dan penggabungan partai politik menjadi satu kekuatan yang dominan, yang pada akhirnya mengikis pilar-pilar demokrasi (Abraham et al., 2005).

Penjelasan

Salah satu faktor utama yang menyebabkan pergeseran dari demokrasi ke fasisme adalah adanya presiden yang melanggar hak asasi manusia (HAM). Pemimpin yang mengabaikan hak-hak individu sering kali menggunakan kekuasaan mereka untuk menekan oposisi dan membatasi kebebasan berpendapat. Menurut Arendt (1973), pemimpin semacam ini memanfaatkan taktik represif untuk menciptakan suasana ketakutan, yang perlahan-lahan merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi demokratis. Ketika tindakan represif ini dibiarkan tanpa sanksi atau kontrol, masyarakat kehilangan kepercayaan pada institusi-institusi demokratis yang seharusnya melindungi hak-hak mereka. Kondisi ini mempermudah transisi ke pemerintahan yang lebih otoriter.

Selain pelanggaran HAM, koalisi partai politik juga memainkan peran signifikan dalam memperkuat otoritarianisme. Seperti yang dijelaskan oleh Levitsky dan Ziblatt (2018), ketika partai-partai politik mulai bersatu untuk mendukung pemimpin otoriter, mereka sering kali mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi demi mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan bersama. Koalisi pragmatis semacam ini menciptakan iklim politik bermuatan suara-suara kritis atau alternatif semakin ditekan. Hal ini memperkuat kontrol pemerintah atas aspek-aspek kehidupan sosial dan politik, mempercepat jalur menuju fasisme (Cecep et al., 2022).

Kondisi ekonomi dan sosial juga menjadi faktor pendorong dalam transisi menuju fasisme. Dalam situasi krisis ekonomi atau sosial, rakyat sering kali cenderung menerima pemimpin otoriter yang menjanjikan stabilitas dan kemakmuran, meskipun mereka melanggar prinsip-prinsip demokrasi. Seperti yang dijelaskan oleh Abraham et al. (2005), janji-janji stabilitas atau kemakmuran membuat masyarakat lebih rela mengabaikan pelanggaran HAM demi keamanan. Dalam konteks ini, krisis ekonomi memainkan peran kunci dalam mendorong masyarakat untuk memilih kepemimpinan otoriter sebagai solusi cepat terhadap masalah-masalah yang mendesak.

Lebih jauh lagi, intervensi dari aktor-aktor eksternal juga dapat mempercepat transisi menuju fasisme. Dukungan politik, ekonomi, atau militer dari negara asing sering kali memperkuat rezim otoriter di negara-negara yang sedang mengalami kemunduran demokrasi. Levitsky dan Way (2010) mencatat bahwa bantuan ekonomi atau militer dari negara-negara besar memungkinkan pemimpin otoriter untuk memperkuat kekuasaan mereka dan menekan oposisi. Dengan adanya dukungan eksternal ini, pelanggaran HAM semakin sulit dihentikan, sementara prinsip-prinsip demokrasi semakin dirusak.

Bagaimana Masyarakat Bersikap?

Pergeseran dari demokrasi ke fasisme merupakan proses kompleks yang melibatkan berbagai faktor seperti pelanggaran HAM oleh pemimpin dan koalisi partai politik yang menyatu menjadi satu entitas dominan. Untuk mencegah hal ini terjadi, penting bagi masyarakat untuk tetap waspada terhadap tindakan pemerintah dan menjaga komitmen terhadap nilai-nilai demokratis serta perlindungan hak asasi manusia.

Masyarakat harus bersikap aktif dan kolektif dalam menghadapi ancaman fasisme yang berpotensi menghancurkan kebebasan dan kesetaraan. Pentingnya solidaritas kelas pekerja dan perjuangan melawan penindasan dalam segala bentuknya, termasuk fasisme yang lahir dari sistem kapitalis yang menindas. Dalam menghadapi fasisme, masyarakat harus bersatu dalam memperkuat gerakan rakyat yang berpihak pada hak-hak pekerja dan kaum tertindas, serta menolak manipulasi negara yang mengekalkan kekuasaan segelintir elit melalui nasionalisme ekstrem dan represi dan mengutamakan perpecahan.

Dengan memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan sosial, serta mendorong partisipasi politik yang demokratis melalui keputusan yang diambil demi kesejahteraan bersama, organisasi massa seperti serikat pekerja, kelompok advokasi HAM, dan organisasi politik progresif menjadi sangat penting untuk memobilisasi masyarakat dan membangun kesadaran kritis. Penolakan terhadap fasisme tidak hanya sebatas menolak otoritarianisme, tetapi juga harus mencakup pembongkaran sistem kapitalis yang melahirkan krisis ekonomi dan sosial yang sering kali dimanfaatkan oleh pemimpin fasis untuk mendapatkan dukungan rakyat. Melalui aksi kolektif yang terorganisir, masyarakat dapat menggantikan ketakutan dengan harapan dan kekuasaan otoriter dengan pemerintahan yang berakar pada kepentingan rakyat. Di bawah bendera sosialisme, rakyat tidak hanya menentang fasisme tetapi juga membangun tatanan sosial baru yang berlandaskan pada demokrasi partisipatif dan distribusi kekayaan yang adil.

Sumber Referensi

Adryamarthanino, Verelladevanka; Widya Lestari Ningsih. (2022). Benito Mussolini, Diktator Fasis Italia yang Berakhir Tragis. Kompas. https://www.kompas.com/stori/read/2022/01/20/140000579/benito-mussolini-diktator-fasis-italia-yang-berakhir-tragis. Diakses pada 21 Oktober 2024, pukul 13.02 WIB.

Arendt, H. (1973). The origins of totalitarianism. Harcourt Brace Jovanovich.

Diskin, Abraham; Hanna Diskin; Reuven Y. Hazan. (2005). Why Democracies Collapse: The Reasons for Democratic Failure and Success. International Political Science Review. Vol. 26. №3, 291–309. SAGE Publications (London, Thousand Oaks, CA and New Delhi). DOI: 10.1177/0192512105053787

Isnaini. (2020). Koalisi partai politik dalam sistem pemerintahan presidensial di Indonesia. CIVICUS: Pendidikan-Penelitian-Pengabdian: Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan. Vol. 8 no. 1 Maret 2020, 93–104. P-ISSN 2338–9680. DOI: 10.31764/civicus.v8i1.1920

Levitsky, S., & Ziblatt, D. (2018). How democracies die. Crown Publishing Group.

Mounk, Y. (2022). The great experiment: Why diverse democracies fall apart and how they can endure. Penguin Press.

Modami, Nickel; Muhammad Ulum Azza Zulfaqaar; Nicholas Samuel Tedja; Maulana Danu Atmaja. (2023). Studi Riwayat Demokrasi Pasca Reformasi. Nusantara: Jurnal Pendidikan, Seni, Sains dan Sosial Humanioral (2023) 11:2, 1–25. ISSN 1111–1111. FORIKAMI (Forum RIset Ilmiah Kajian Masyarakat Indonesia).

Pratama, Muhammad Irfan; Abdul Rahman; Fahri Bachmid. (2022). Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Media Sosial dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Qawanin Jurnal Ilmu Hukum. Fakultas Hukum. Universitas Muslim Indonesia. Vol. 3, no. 1 : 1–16. E-ISSN: 2776–5741.

Rakhmad Hidayatulloh Permana. (2020). Mengenal Buku ‘How Democracies Die’ yang Dipamerkan Anies. Detik.com. https://news.detik.com/berita/d-5266185/mengenal-buku-how-democracies-die-yang-dipamerkan-anies. Diakses pada 20 Oktober 2024, pukul 12.59 WIB.

Robet, Robertus. (2014). Politik Hak Asasi Manusia & Transisi di Indonesia: Dari Awal Reformasi Hingga Akhir Pemerintahan SBY. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. https://perpustakaan.elsam.or.id/index.php?p=fstream-pdf&fid=740&bid=14325.

Satriawan, M. Iwan; Mustafa Lutfi. (2015). Risalah Hukum Partai Politik. Pusat Kajian Konstitusi dan Peraturan Perundang-Undangan Fakultas Hukum. Fakultas Hukum. Universitas Lampung. http://repository.lppm.unila.ac.id/4155/1/risalah%20hukum%20partai%20politik.pdf.

Suryana, H. Cecep; Fariz Farghan Atalla; Fathiyyah Raisah Amani; Khairunnisa Al Fajri; Lu’lu Mar’atul Farhah; M Fikri Saffa; Maryam Alhukmah Shabiyya; Mayang Sri Pertiwi. (2022). Keterkaitan Parpol Dengan Pemerintah Dan Kehidupan Masyarakat. https://digilib.uinsgd.ac.id/70836/1/Keterkaitan%20Parpol%20Dengan%20Pemerintah%20Dan%20Kehidupan%20Masyarakat.pdf.

Syaid, Allbert F. (2021). HAM dan Demokrasi Indonesia Dalam Bayang Fasisme. Kumparan. https://kumparan.com/yes-syaid/ham-dan-demokrasi-indonesia-dalam-bayang-fasisme-1uxoR33SuGI/full. Diakses pada 21 Oktober 2024, pukul 13.08 WIB.

Wardani, Sri Handayani Retna. (2022). Dinamika Politik Pemerintahan Era Reformasi pada Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Wijaya Putra Law Review: Vol 1 (2) P-ISSN 2829–7865. DOI: https://doi.org/10.38156/wplr.v1i2.78

--

--

Serikat Mahasiswa Progresif UI
Serikat Mahasiswa Progresif UI

Written by Serikat Mahasiswa Progresif UI

Memulai langkah pembebasan kaum tertindas dengan membangun gagasan dan gerakan progresif!

No responses yet