21 Tahun Tragedi Semanggi, Agenda Penyelesaian Hanya Angan?
Oleh: Rozy Brilian
“Hidup atau mati ditangan Tuhan bukan diujung peluru. Saya percaya bahwa kekerasan tidak bisa diselesaikan juga dengan kekerasan.”
Maria Catarina Sumarsih
Tanggal 13 November 1998 merupakan catatan kelam bagi bangsa Indonesia pasca Reformasi utamanya dalam perlindungan HAM. Warisan Orde Baru yang mengedepankan cara-cara kekerasan masih membudaya di aparat kita. Represifitas yang dilakukan oleh aparat saat itu menelan sebanyak 17 korban jiwa yang sebagian besar merupakan mahasiswa.[1] Peristiwa Semanggi dilatarbelakangi oleh demonstrasi mahasiswa yang tidak percaya kepada pemerintahan BJ Habibie dan anggota dewan saat itu. mereka juga menuntut agar pemerintahan bersih dari unsur-unsur orde baru dan militerisme.[2] Salah satu dari korban Semanggi I tersebut adalah Benardinus Realino Norma Irawan atau Wawan, mahasiswa Universitas Atmajaya yang merupakan anak dari Ibu Maria Catarina Sumarsih. Saat ini Ibu Sumarsih merupakan inisiator Aksi Kamisan yang sudah diselenggarakan sebanyak lebih dari 600 kali. Beliau dan korban lainnya berdiri tanpa lelah di seberang Istana Negara dan terus menuntut agar negara segera menyelesaikan kasus Semanggi serta kasus pelanggaran HAM berat lainnya.
Sejauh ini perkembangan penyelesaian Kasus Semanggi masih jalan di tempat. Tidak ada progress sedikitpun dalam proses yudisial maupun non yudisialnya. Korban hanya terpaksa menelan janji-janji politik setiap menjelang kontestasi pemilihan umum. Janji lima tahunan itu seperti ‘kaset rusak’ yang terus diulang-ulang oleh para calon untuk menggaet suara korban.
Pelaku Tak Kunjung Diadili
Hingga detik ini, belum ada dalang intelektual baik petinggi militer maupun kepolisian yang merasakan bangku pengadilan. Memang telah diselenggarakan pengadilan militer terhadap prajurit yang berpangkat rendah pada tahun 1999.[3] Tetapi tentu saja hal tersebut jauh dari kata cukup untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban. Lebih lucu lagi, Presiden Jokowi malah mengangkat Jenderal Wiranto sebagai Menkopolhukam, yang pada saat Tragedi Semanggi pecah, dia menjabat sebagai Menteri Pertahanan / Panglima ABRI. Itu artinya dia seharusnya bertanggungjawab atas kondisi keamanan pada saat itu. Tak sampai disitu, Wiranto saat menjabat sebagai Menkopolhukam melampaui kewenangannya dengan mengusulkan jalan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu diluar jalur yudisial, seperti Dewan Kerukunan Nasional atau Tim Terpadu. Tentu hal tersebut akan semakin memperpanjang rantai impunitas bagi para pelaku yang seharusnya bertanggungjawab atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu termasuk Tragedi Semanggi Berdarah.
Korban Terus Dibohongi
Setelah 5 tahun memimpin pemerintahan, tidak ada satupun dari janji penuntasan pelanggaran HAM berat pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang dapat dituntaskan. Padahal salah satu poin dari 42 prioritas utama kebijakan penegakan hukum, pasangan ini berkomitmen akan menyelesaikan kasus kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kasus HAM masa lalu masih menjadi beban politik bagi bangsa Indonesia.[4] Jangankan berharap penyelesaian, dimulai saja pun tidak sama sekali.
Belum lagi tindakan dan kebijakan yang diambil Jokowi kontraproduktif dengan semangat penyelesaian pelanggaran HAM secara berkeadilan. Di periode kepemimpinannya, Jokowi malah mengangkat pelaku terduga pelanggaran HAM menduduki jabatan-jabatan strategis. Tentu hal tersebut menista harapan yang dibangun oleh para korban selama berpuluh-puluh tahun.
Tahun 2019, Jokowi terpilih lagi menjadi Presiden RI. Sebelumnya penuntasan kasus pelanggaran HAM kembali menjadi ‘jualan’ politik Jokowi. Dalam debat pertama, Jokowi mengakui masalah penyelesaian HAM berat di masa lalu memang belum selesai. Dia juga mengakui bahwa tidak mudah untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Hal itu karena kejadiannya telah berlalu begitu jauh. Namun dia berkomitmen bila terpilih menjadi kepala negara bersama dengan Ma’ruf Amin akan menyelesaikan persoalan ini.[5] Nyatanya, bukannya belajar dari kesalahan pada periode sebelumnya, Jokowi melakukan pola yang sama. Kabinet yang diumumkan masih mengindikasikan bahwa beliau tidak serius dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
Komitmen Jokowi harus kembali dipertanyakan. Jangan-jangan memang tidak ada itikad baik sedikitpun. Belakangan ini Jokowi hanya berfokus pada ekonomi dan investasi. Mungkin agenda penegakan Hukum dan perlindungan HAM tidak menjadi prioritas utama kerja periode Jokwi-Amin. Lebih parah lagi diksi ‘HAM’ bahkan tidak sama sekali disebutkan dalam pidato pertamanya di Gedung DPR/MPR. Kasus pelanggaran HAM bisa saja kembali terbengkalai di periode ini. Itu artinya korban semanggi harus lebih lama menahan kerinduan atas sanak keluarganya yang gugur dalam tragedi tersebut. Hal tersebut sekaligus juga menandakan bahwa Jokowi adalah Presiden yang terus saja memperpanjang kebohongan dan tak pernah serius mengatasi problematika kemanusiaan.
Perppu Dapat Jadi Solusi
Undang-Undang telah mengamanatkan Jaksa Agung untuk melakukan proses penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat.[6] Tetapi sejauh ini belum ada tanda-tanda Jaksa Agung berniat untuk menyelesaikan tugasnya tersebut. Berkas penyelidikan kasus Semanggi yang dikerjakan oleh Komnas HAM di ‘ping-pong’ oleh Kejaksaan. Institusi tersebut selalu berdalih bahwa hasil penyidikan tidak cukup untuk dinaikkan ke proses penyidikan. Bahkan yang terbaru, setelah rapat dengan Komisi III di DPR, Burhanudin menyatakan bahwa sulit untuk mengungkap kejahatan HAM berat masa lalu dikarenakan sulit memperoleh alat bukti karena tempus delicti sudah lama, locus delicti sudah berubah, serta alat bukti sulit diperoleh dan hilang atau tidak ada.[7] Selain itu Jaksa Agung menambahkan bahwa kendala lainnya adalah belum dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc.[8] Ini mengakibatkan proses penyidikan baru dapat dimulai setelah Pengadilan HAM ad hoc tersebut selesai dibentuk. Hal tersebut merupakan penafsiran ambigu yang dilakukan oleh Jaksa Agung atas Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM.[9] Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Artinya bola panas kembali mengarah kepada Presiden, apakah mau untuk mengeluarkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. Lantas dari kondisi tersebut, masih pantaskah para korban Semanggi berharap Jokowi dapat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM?
Selain produk hukum berupa Keppres, Jokowi sebenarnya mempunyai opsi alternatif untuk mengeluarkan Perppu. Produk hukum tersebut akan berisi mengganti ketentuan pasal yang menyerahkan kewenangan penyidikan dan penuntutan yang semula pada Jaksa Agung kepada Komnas HAM. Rekomendasi alternatif tersebut dapat dilakukan dikala kondisi saat ini dimana Jaksa Agung masih juga enggan dan terus pesimistis mampu untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Jadi lebih baik kewenangan tersebut dikerjakan oleh Institusi Negara lainnya yang menyanggupi. Menurut salah satu komisioner Komnas HAM, Chairul Anam, Perppu tersebut dapat membuktikan komitmen menyelesaikan kasus HAM pada masa lalu.[10] Komnas HAM bersedia untuk melakukan kewenangan Pro Justitia berupa penyelidikan dan penuntutan di Pengadilan HAM. Jika tak kunjung diselesaikan, ini akan semakin berlarut-larut dan tentu akan sulit pula untuk menemukan bukti-bukti yang dapat digunakan. Belum lagi korban yang seharusnya didengarkan keterangannya semakin lama akan menua dan meninggal dunia.
Penyelesaian kasus Pelanggaran HAM berat masa lalu murni menjadi tanggungjawab negara. Pemerintah wajib menyelenggarakan keadilan bagi korban dan keluarganya. Banyak sekali alternatif kemungkinan yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu termasuk tragedi berdarah Semanggi I. Semuanya bergantung pada kemauan negara. Hal tersebut mungkin dapat dimulai dari membersihkan orang-orang yang diduga terlibat kuat dalam pelanggaran HAM berat masa lalu dari lingkaran Presiden. Korban akan terus menagih janji Presiden, siapapun Presidennya. Penyelesaian secara berkeadilan harus segera dilaksanakan. Korban tidak menolak upaya-upaya rekonsiliasi/ non yudisial. Akan tetapi proses peradilannya harus dilaksanakan terlebih dahulu guna mengadili pelaku dari kejahatan pelanggaran HAM berat tersebut. Rekonsiliasi, pengungkapan kebenaran dan pemenuhan hak-hak korban (reparasi) bagi korban memang penting juga untuk dilakukan, tapi diatas semua itu demi konsistensi penjalanan konstitusi yang menyatakan Indonesia adalah Negara Hukum, maka pengadilan yang berdasar hukum harus segera dilaksanakan. Semua itu demi keadilan bagi korban Semanggi dan kasus pelanggaran berat lainnya serta jaminan ketidakberulangan kasus serupa di masa yang akan datang.
[1]Dieqy Hasbi Widhana, “Tragedi Semanggi I dan mandeknya Peradilan HAM di Indonesia”, https://tirto.id/tragedi-semanggi-i-dan-mandeknya-peradilan-ham-di-indonesia-bQQo
[2]Sri Lestari, “Kasus penembakan mahasiswa Trisakti, Semanggi I dan II, belum selesai setelah 20 tahun reformasi.” https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43940189 diakses pada 15 November 2019
[3] KontraS, Buku Bahan Advokasi Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, (Jakarta : KontraS, 2016), hlm. 11.
[4] Meidella Syahni, “Ini Janji Jokowi JK soal HAM”, https://nasional.kompas.com/read/2014/05/21/1630112/Ini.Janji.Jokowi-JK.soal.HAM diakses 14 November 2019
[5] “Janji Jokowi di Debat Pertama”, https://www.jawapos.com/nasional/politik/14/04/2019/janji-jokowi-di-debat-pertama-dari-pelanggaran-ham-sampai-soal-kpk/ diakses pada 15 November 2019
[6] Indonesia, Undang-Undang Pengadilan HAM, UU №26 Tahun 2000, Ps. 21 ayat (1)
[7]“Jaksa Agung Ungkap Hambatan Penyelesasian Kasus HAM Berat”, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191107142131-12-446354/jaksa-agung-ungkap-hambatan-penyelesaian-kasus-ham-berat dakses pada 15 November 2019
[8] Kristian Erdianto, “Jaksa Agung Ungkap Hambatan Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu”, https://nasional.kompas.com/read/2019/11/07/16335091/jaksa-agung-ungkap-hambatan-penuntasan-kasus-pelanggaran-ham-berat-masa-lalu. Diakses pada 15 November 2019.
[9] KontraS, Panduan Penyelesaian Pelanggaran HAM berat, hal. 11
[10] Mohammad Bernie, “Komnas HAM Usulkan Pemerintah Buat Perppu Untuk Tuntaskan Kasus HAM.” https://tirto.id/komnas-ham-usulkan-pemerintah-buat-perppu-untuk-tuntaskan-kasus-ham-cLGY diakses pada 15 November 2019